Transformasi Digital RI Melaju: Regulasi, Keamanan, dan Kepercayaan Jadi Sorotan di Digital Nation Summit 2025

Pradahlan Sindu Mardiko - Penulis

Iklan ini berasal dari platform publisher eksternal dan dimuat berdasarkan preferensi (cookies) pembaca. Mohon kebijaksanaan dalam menyikapi iklan yang muncul.


Depok, Stapo.id – GSMA Digital Nation Summit 2025 yang diselenggarakan di Mandarin Oriental Jakarta pada 10 Desember 2025 menjadi panggung penting bagi berbagai pemimpin industri global dan nasional untuk membahas fondasi digital Indonesia di era kecerdasan buatan. Forum yang menghadirkan eksekutif dari Indosat Ooredoo Hutchison, Google Cloud, Ericsson, GSMA, hingga TSM Technologies ini menempatkan isu regulasi, tata kelola data, peningkatan ketahanan terhadap penipuan siber, dan hiper-personalisasi layanan sebagai fokus utama.

Dalam Keynote Dialogue “Powering Digital Nation: The Role of Telecommunication in the Age of Artificial Intelligence”, para panelis menyoroti tantangan besar dalam percepatan pembangunan infrastruktur telekomunikasi Indonesia. Kompleksitas birokrasi yang melibatkan setidaknya sepuluh kementerian membuat pelaksanaan proyek strategis, termasuk penyambungan kabel bawah laut antar-pulau, berjalan lambat. Para pemimpin industri menekankan perlunya penyelarasan regulasi secara simultan agar waktu ke pasar dapat dipangkas dan Indonesia mampu mempercepat transformasi digitalnya menjadi kekuatan global.

Diskusi kemudian menyoroti bagaimana operator telekomunikasi, terutama Indosat Ooredoo Hutchison, mengadopsi pendekatan berbasis platform untuk mengintegrasikan AI ke dalam layanan mereka. Perusahaan ini memanfaatkan AI untuk mewujudkan hiper-personalisasi dalam skala besar, menciptakan pengalaman layanan yang dirancang untuk “segmen satu”, yaitu tiap pelanggan diperlakukan sebagai satu segmen unik. Dengan lebih dari seratus juta pelanggan, pendekatan ini menghadirkan personalisasi rekomendasi produk, konten, kanal komunikasi, hingga strategi interaksi yang diklaim memberikan pengalaman yang lebih relevan dan memberi ketenangan bagi konsumen.

Selain optimalisasi jaringan, AI juga dipandang sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi digital Indonesia. Narasumber menekankan bahwa AI memanfaatkan data dalam volume besar untuk memberdayakan pelaku usaha dari UKM hingga korporasi besar. Solusi seperti AI Cloud membutuhkan ekosistem mitra yang solid untuk memastikan konektivitas yang aman. Namun, para pembicara juga mengingatkan bahwa meningkatnya adopsi AI memperbesar kebutuhan keamanan siber. Teknologi yang sama yang mempercepat inovasi juga dapat dimanfaatkan pihak yang berniat jahat, terutama dalam penipuan finansial. Karena itu, inovasi berkelanjutan dan penguatan garis pertahanan digital dianggap krusial.

Kepala AI Google Cloud Indonesia, Muhammad Fariz Sinaga, menekankan bahwa akselerasi AI tidak dapat dipisahkan dari pembangunan kepercayaan publik. Ia menyebut bahwa tata kelola data, transparansi, dan pemahaman menyeluruh terhadap perjalanan data dari hulu ke hilir merupakan pilar utama. Terdapat setidaknya lima belas titik rawan dalam proses data yang harus dilindungi, mencakup lapisan aplikasi, model, infrastruktur, hingga penyimpanan. Menurut Fariz, keberlanjutan adopsi AI hanya dapat tercapai bila seluruh pemangku kepentingan berkolaborasi secara konsisten, termasuk regulator dan asosiasi seperti GSMA.

Isu keamanan siber mendapat sorotan khusus dalam panel “Strengthening Scam Resilience Through Cross-Sector Collaboration”. Chief Legal & Regulator Officer Indosat Ooredoo Hutchison, Reski Damayanti, mengungkapkan bahwa kerugian akibat penipuan digital di Indonesia jauh melebihi angka laporan resmi. Teknologi seperti deepfake, pemalsuan suara, dan rekayasa pesan kini membuat penipuan semakin canggih. Ia menyebut data industri yang menunjukkan kerugian lebih dari Rp 11 triliun, namun hasil survei internal memperlihatkan jumlah sebenarnya jauh lebih besar karena banyak korban yang tidak melapor. Penipuan disebut sebagai konstruksi lintas platform yang melibatkan media sosial, sistem pembayaran, hingga komunikasi personal, sehingga kolaborasi lintas sektor dianggap tak terhindarkan.

Momentum kolaborasi juga disuarakan oleh Mochammad Fadillah Putra, Senior Product Manager Lead TSM Technologies. Ia menekankan bahwa pembangunan bangsa digital tidak dapat bertumpu pada teknologi semata. Tata kelola, regulasi, fairness, akuntabilitas, dan transparansi harus menjadi fondasi utama dalam adopsi AI. Pemerintah, regulator, industri, dan inovator perlu menyelaraskan langkah untuk memastikan manfaat teknologi dirasakan merata oleh masyarakat. Menurut Fadillah, diskusi yang berlangsung dalam Digital Nation Summit diharapkan menjadi katalis untuk memperkuat daya saing nasional sekaligus mendorong transformasi digital yang inklusif dan berkelanjutan.

Gelaran Digital Nation Summit 2025 menjadi refleksi bahwa Indonesia tengah memasuki fase krusial dalam membangun masa depan digitalnya. Di tengah derasnya perkembangan AI dan teknologi telekomunikasi, kolaborasi multi-sektor, tata kelola yang kuat, serta komitmen menjaga kepercayaan publik merupakan syarat utama agar Indonesia dapat memanfaatkan potensi digital secara optimal dan aman.

Iklan ini berasal dari platform publisher eksternal dan dimuat berdasarkan preferensi (cookies) pembaca. Mohon kebijaksanaan dalam menyikapi iklan yang muncul.

Bottom Ad [Post Page]

Iklan ini berasal dari platform publisher eksternal dan dimuat berdasarkan preferensi (cookies) pembaca. Mohon kebijaksanaan dalam menyikapi iklan yang muncul.

Kabar

Bisnis

Memuat berita Bisnis...

Insight

Invest

Stafriends

Memuat karya Stafriends...

Otomotif

Tech