Ekspansi Moneter Terhambat Pelemahan Rupiah
Iklan ini berasal dari platform publisher eksternal dan dimuat berdasarkan preferensi (cookies) pembaca. Mohon kebijaksanaan dalam menyikapi iklan yang muncul.
Depok, Stapo.id – Kalangan analis dan pelaku pasar menilai peluang penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI-Rate) masih terbuka pada 2026, seiring kebutuhan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, ruang ekspansi moneter itu berisiko kembali tertekan jika tren pelemahan rupiah yang berlangsung sepanjang tahun ini berlanjut pada tahun depan.
Berdasarkan data Trading Economics, rupiah bergerak fluktuatif terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan sempat menyentuh Rp16.645 per dolar AS pada akhir November 2025. Tekanan terhadap rupiah ini membuat Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan di level 7,00%. Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa stabilitas nilai tukar tetap menjadi prioritas utama, terutama di tengah tingginya ketidakpastian global dan perlambatan ekonomi di sejumlah negara mitra dagang utama.
Dari sisi pasar keuangan, indeks harga saham gabungan (IHSG) menunjukkan penguatan konsisten dalam beberapa bulan terakhir, didorong optimisme pemulihan ekonomi domestik. Data Bursa Efek Indonesia menunjukkan IHSG mampu menembus level 8.520,71 pada akhir November, yang menjadi salah satu level terbaik dalam sejarah pergerakannya. Kinerja positif IHSG ini turut didukung arus masuk modal asing (capital inflow) ke sektor saham, terutama pada saham berkapitalisasi besar.
Di sisi lain, imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun mengalami penyesuaian dan berada di kisaran 6,33%. Pergerakan yield obligasi masih dipengaruhi dinamika global, terutama kebijakan suku bunga Federal Reserve yang belum memberikan sinyal kuat mengenai siklus pelonggaran pada 2026.
Para ekonom menilai peluang penurunan BI-Rate tetap ada, khususnya jika tekanan terhadap rupiah mulai mereda. Penurunan suku bunga acuan diyakini dapat membantu mendorong konsumsi rumah tangga dan mengurangi beban biaya pinjaman dunia usaha. Meski demikian, ruang kebijakan ini hanya akan efektif jika stabilitas eksternal terjaga.
Mereka juga melihat perlunya penguatan stimulus fiskal yang lebih efisien, terutama dalam menghadapi tantangan melemahnya ekspor dan perlambatan investasi di sektor manufaktur. Pemerintah diminta menjaga efektivitas belanja produktif, termasuk dukungan bagi UMKM, pembiayaan hijau, serta pengembangan sektor energi baru terbarukan.
Secara keseluruhan, tantangan tahun 2026 dinilai lebih berat dibandingkan tahun sebelumnya. Meski capaian pertumbuhan ekonomi hingga kuartal ketiga berada di kisaran 5,04% yoy, tekanan global masih dapat memengaruhi pergerakan nilai tukar, inflasi, hingga arus modal asing. Para analis berharap kebijakan moneter dan fiskal dapat berjalan lebih sinkron untuk menjaga stabilitas sekaligus memperkuat daya tahan ekonomi nasional.
Source: investor daily
Iklan ini berasal dari platform publisher eksternal dan dimuat berdasarkan preferensi (cookies) pembaca. Mohon kebijaksanaan dalam menyikapi iklan yang muncul.



