AMVESINDO Akui Ekosistem Startup Tak Baik-Baik Saja, Soroti Integritas di Asia Tenggara
Iklan ini berasal dari platform publisher eksternal dan dimuat berdasarkan preferensi (cookies) pembaca. Mohon kebijaksanaan dalam menyikapi iklan yang muncul.
Depok, Stapo.id – Chairman Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (AMVESINDO), Eddi Danusaputro, secara terbuka mengakui bahwa kondisi ekosistem startup di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara saat ini tengah menghadapi tantangan serius. Pernyataan tersebut disampaikannya dalam diskusi panel pada ajang Ekraftech Summit 2025 yang berlangsung di Hotel Pullman Jakarta pada 16–17 Desember 2025, di hadapan pelaku startup, investor, regulator, serta pemangku kepentingan ekosistem digital nasional.
Eddi menegaskan bahwa tantangan yang dihadapi tidak hanya bersifat siklus bisnis, melainkan juga menyangkut isu integritas yang mencuat melalui sejumlah kasus besar di kawasan Asia Tenggara. Ia menyebut beberapa kasus profil tinggi yang menjadi perhatian publik sebagai sinyal bahwa ekosistem startup memang sedang tidak berada dalam kondisi ideal. Menurutnya, situasi ini sudah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir dan perlu direspons secara jujur serta konstruktif oleh seluruh pemangku kepentingan.
Dalam paparannya, Eddi menjelaskan bahwa peran AMVESINDO tidak terbatas pada aktivitas investasi semata. Asosiasi yang menaungi pelaku modal ventura berizin OJK dan berbagai ecosystem players ini menjalankan sejumlah fungsi strategis, mulai dari inkubasi, akselerasi, hingga kegiatan matchmaking yang bertujuan membantu startup memperoleh peluang pendapatan dan kolaborasi. Selain itu, AMVESINDO juga aktif melakukan advokasi kebijakan, mediasi dengan regulator dan kementerian, serta kegiatan edukasi ke berbagai kampus di Indonesia.
Eddi juga menyoroti perubahan peta talenta digital nasional. Ia menilai bahwa pusat inovasi dan sumber daya manusia teknologi kini tidak lagi terpusat di Jakarta. Sejumlah kota seperti Malang, Yogyakarta, Bandung, Batam, hingga wilayah Aceh mulai menunjukkan potensi besar sebagai kantong talenta digital dan startup berbasis teknologi. Bahkan, ia mencontohkan kasus di Aceh, di mana sejumlah UMKM dan startup teknologi justru lebih dahulu dilirik investor dari Malaysia dibandingkan investor dari Jakarta, antara lain karena kedekatan geografis dan pendekatan berbasis syariah.
Menurut Eddi, fenomena tersebut seharusnya dibaca sebagai peluang strategis bagi penguatan ekosistem startup nasional yang lebih merata. Ia menekankan bahwa inovasi teknologi tidak boleh lagi terpusat di kota-kota besar tertentu, melainkan perlu didorong agar tumbuh di berbagai daerah dengan karakter dan keunggulan masing-masing.
Dalam konteks perbaikan ekosistem, Eddi menegaskan pentingnya kolaborasi lintas pemangku kepentingan. Ia menyebut peran regulator dan lembaga pemerintah seperti Bappenas, Kementerian Komunikasi dan Digital, Kementerian Ekonomi Kreatif, BKPM, serta OJK sebagai mitra penting yang tidak terpisahkan dalam menciptakan iklim startup yang sehat, berkelanjutan, dan berintegritas.
Menutup diskusi panel, Eddi mengajak para pendiri startup untuk terus meningkatkan kematangan bisnis mereka dengan memanfaatkan berbagai perangkat dan sumber daya yang tersedia di dalam ekosistem. Ia menegaskan bahwa fokus utama saat ini bukan bersikap defensif terhadap kritik, melainkan bersama-sama membangun kembali kepercayaan dan fondasi ekosistem startup Indonesia agar lebih kuat di masa depan.
Iklan ini berasal dari platform publisher eksternal dan dimuat berdasarkan preferensi (cookies) pembaca. Mohon kebijaksanaan dalam menyikapi iklan yang muncul.
